PENDEKATAN ANALITIS DAN
STRUKTURALISME GENETIK DALAM PUISI DALAM DOAKU KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO
Dalam Doaku
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak
memejamkan mata yang meluas bening siap menerima
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku
kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil
kepada angin yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja
yang
mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap
di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di
dahan
mangga itu
Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun
sangat
pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan
kecil
itu menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi
dan bulu-bulu mataku
(Sapardi Djoko Damono)
BIOGRAFI
PENGARANG
Prof. Dr. Sapardi
Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20
Maret 1940; umur 71 tahun) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana,
sehingga beberapa di antaranya sangat populer.
Masa mudanya dihabiskan di Surakarta
(lulus SMP Negeri 2
Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2
Surakarta tahun 1958). Pada
masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah.
Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa
Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas
Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi
dekan di sana dan juga menjadi guru
besar. Pada masa
tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison",
"Basis", dan "Kalam".
Sapardi Djoko Damono banyak menerima
penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan
Achmad Bakrie pada
tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan
Lontar.Ia menikah dengan
Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Sajak-sajak
SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa,
termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja menulis puisi, namun juga cerita pendek.
Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel
di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa
puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku
Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan
Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan
ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian
disebabkan musikalisasi
terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua
Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan
interpretasi atas beberapa karya SDD.
Musikalisasi
puisi karya SDD dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membantu
program Pusat Bahasa, membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair
Indonesia, dalam upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA. Saat itulah tercipta musikalisasi Aku
Ingin oleh Ags. Arya
Dipayana dan Hujan
Bulan Juni oleh H. Umar Muslim. Kelak, Aku Ingin diaransemen
ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari "Soundtrack
Cinta dalam Sepotong Roti" (1991), dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Beberapa
tahun kemudian lahirlah album "Hujan Bulan Juni" (1990) yang seluruhnya
merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu merupakan salah satu
dari sejumlah penyanyi lain, yang adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.Album "Hujan Dalam Komposisi" menyusul dirilis pada tahun
1996 dari komunitas yang sama.Sebagai tindak lanjut atas banyaknya permintaan,
album "Gadis Kecil" (2006) diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang
terdiri dari Reda Gaudiamo dan Tatyana dirilis, dilanjutkan oleh album
"Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu.
Ananda Sukarlan
pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi
interpretasinya atas puisi-puisi SDD serta karya beberapa penyair lain.
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan strukturalisme
genetik
Lucien
Goldmann adalah orang yang mengembangkan fenomena hubungan antara sastra dengan
masyarakat dengan teorinya yang dikenal dengan dengan nama strukturalisme
genetik. Dalam hal ini, Goldmann mengemukakan bahwa fakta kemanusiaan merupakan
struktur yang bermakna. Semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek
kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau
percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya.
Menurut Goldmann dalam Fananie (2000:164), sesuatu yang dihasilkan merupakan
fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan
dunia sekitarnya. Karya sastra yang besar oleh Goldmann dianggap sebagai fakta
sosial dan subjek transindividual karena merupakan hasil aktivitas yang
objeknya merupakan alam semesta dan kelompok manusia.
Strukturalisme genetik adalah
hubungan genetik yang merupakan keterikatan antara pandangan dunia penulis
dalam sebuah karya dengan pandangan dunia pada ruang dan waktu tertentu
(Fananie, 2000:118). Menurut Teeauw dalam Fananie (2000:118), dalam pengertian
ini karya sastra dapat dipahami asalnya dan kejadiannya.
Menurut Goldmann dalam Fananie
(2000:120), sebuah analisis strukturalisme genetik didasarkan faktor
kesejarahan karena tanpa menghubungkan dengan fakta-fakta sejarah pada suatu
subjek kolektif dimana karya tersebut diciptakan, tidak seorang pun akan mampu
memahami secara komprehensif worldview atau hakikat makna dari karya yang
dipelajari
Puisi karya Sapardi ini
menggambarkan pergantian waktu dari terbitnya fajar (subuh) hingga senja hari
(magrib). Puisi ini menggambarkan seorang pemeluk agama Islam yang beribadah di
subuh hari, siang hari, petang hari, dan senja hari. Kata yang digunakan untuk
mewakili istilah beribadah adalah dalam doaku. Dan Sapardi memang benar-benar
pintar dalam meimlih kata-kata hingga puisi ini bersifat universal, bisa dibaca
oleh siapa pun dengan latar agama selain Islam. Namun bagi pembaca yang
beragama Islam tentu saja langsung akan tertuju dengan istilah sholat, yang
juga adalah ritual berdoa kepada Allah dengan waktu yang telah ditentukan
pelaksanaannya. Dalam agama Islam istilah beribadah itu adalah sholat: sholat
subuh, dzuhur, ashar, magrib, dan isya’.
Pada bait pertama adalah
penggambaran suasana subuh. Dimana si aku khusyuk berdoa di tengah suasana
subuh yang masih hening, sepi, dengan langit yang bersih, membentang luas, dan
siap menerima sinar matahari pertama kali. Si aku begitu takjub akan kebesaran
Sang Pencipta dan Yang Maha Memiliki langit di waktu subuh.
Dalam bait kedua menggambarkan waktu
siang hari, waktu dzuhur.”Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala”.Si
aku merasakan Sang Khalik begitu dekat dengannya, seakan-akan Ia menjelma
pucuk-pucuk cemara yang selalu hijau. Angin yang mendesau memberikan kesejukan
di tengah hari yang biasanya begitu panas, namun dengan adanya pucuk-pucuk
cemara yang hijau seakan-akan semuanya menjadi segar dan sejuk.
Pada bait berikutnya adalah
gambaran suasana sore hari yang sedang gerimis. Angin yang mendesau di siang
hari ternyata menandakan suasana yang hendak hujan. Si aku kembali berdoa di
sore hari dan melihat ada seekor burung gereja yang hinggap di ranting pohon
jambu. Burung gereja itu kehujanan di tengah gerimis dan tampak gelisah lalu
hinggap di dahan mangga. Burung gereja diibaratkan hidayah dari Allah oleh si
aku. Ia hinggap dimana pun ia mau, begitu juga dengan hidayah akan turun kepada
manusia yang berusaha dan Allah menghendakinya.
Kemudian pada bait terakhir
adalah suasana di senja hari, waktu magrib, dan si aku kembali berdoa. Si aku
merasa Sang Khalik begitu dekat dengannya dengan menjelma menjadi angin yang
turun sangat perlahan, yang bersijingkat dan menyusup di celah-celah jendela
dan pintu yang kemudian menyentuh dahi dan bulu mata serta rambut si aku. Kita
membayangkan mungkin saja si aku sedang bersujud. Suasana yang hening dan damai
membuat si kau dapat merasakan perjalanan angin menuju ke arahnya. Angin yang
merupakan berkah dari Allah.
Puisi Sapardi ini mengingatkan
kita akan pentingnya waktu. Waktu yang tidak kita gunakan sebaik-baiknya untuk
kegiatan yang berguna atau beribadah kepada-Nya akan menjadi sia-sia dan tidak
menghasilkan apapun. Kita akan menjadi orang yang merugi. Masalah waktu memang
sangat penting dalam agama Islam, waktu adalah pedang, jika kita tidak pandai
menggunakannya maka waktu itu akan melukai kita. Dalam Islam waktu beribadah
yang wajib sudah ditentukan yaitu sholat. Di luar itu umat Islam bisa
menggunakannya untuk ibadah yang lain dan amalan sholeh lainnya. Seperti yang
tercantum dalam Al-Quran surat Al-‘Asr:1-3.
“Demi
masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling
menasehati untuk kesabaran.”
Yang
dimaksud orang-orang beriman dalam agama Islam diantaranya adalah orang-orang
yang khusyuk dalam sholatnya, seperti yang termaktub dalam Q. S.
Al-Mu’minun:1-6.
“Sungguh
beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam sholatnya,
dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak
berguna, dan orang yang menuanikan zakat, dan orang yang memelihara
kemaluaannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka
miliki , maka sesungguhnya mereka tidak tercela.”
Begitu dalam makna puisi karya Sapardi,
sebuah pencapaian seorang hamba yang tekun beribadah kepada Sang Khalik
menemukan kedamaian dan kekhusyukan.
Bila kita analisis unsur-unsur intrinsiknya satu persatu maka akan kita temukan permainan bunyi yang memakau pembaca. Coba perhatikan larik demi larik puisi tersebut, pasti terdapat permainan bunyi yang menarik. Dalam bait pertama misalnya dapat kita temukan paduan vokal a dan u.
Bila kita analisis unsur-unsur intrinsiknya satu persatu maka akan kita temukan permainan bunyi yang memakau pembaca. Coba perhatikan larik demi larik puisi tersebut, pasti terdapat permainan bunyi yang menarik. Dalam bait pertama misalnya dapat kita temukan paduan vokal a dan u.
Dalam
doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak
memejamkan mata yang meluas bening siap menerima
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
memejamkan mata yang meluas bening siap menerima
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
Paduan vokal a dan u ini menimbulkan
suasana yang gembira namun tetap khusyuk. Begitu juga yang terdapat pada bait
kedua, adanya paduan vokal a dan u.
Irama yang ada dalam puisi ini juga menarik
karena adanya perulangan bunyi yang berturut-turut dan bervariasi, diantaranya
sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Seperti yang disebutkan di atas bahwa
puisi ini didominasi asonansi a dan u. Aliterasi yang ada dalam puisi ini
tampak jelas pada bait kedua dan ketiga.
Ketika
matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku
kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil
kepada angin yang mendesau entah dari mana
kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil
kepada angin yang mendesau entah dari mana
Aliterasi /ng/ dan /n/ tampak jelas dalam bait puisi di atas. Dengan adanya aliterasi ini menimbulkan irama yang benar-benar membuat pembaca tidak bosan untuk terus melanjutkan membaca puisi ini. Sedangkan sajak yang paling banyak ada dalam puisi ini adalah sajak mutlak. Rima identik juga menghiasi puisi ini, yaitu antara bait pertama dan ketiga.
Majas metafora banyak digunakan
dalam puisi ini. Menjelma langit, menjelma pucuk-pucuk cemara, menjelma seekor
burung gereja, dan menjelma angin. Majas personifikasi juga ada dalam puisi
ini.
…kau
menjelma langit yang semalaman tak
memejamkan mata yang meluas bening siap menerima
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
memejamkan mata yang meluas bening siap menerima
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
Dalam
bait kedua, ketiga, dan keempat pun terdapat majas personifikasi.
Pilihan kata yang digunakan oleh Sapardi adalah kata-kata yang sudah kita kenal. Sangat sederhana memang dalam pilihan kata yang dipakai tapi dengan diksi yang sederhana mampu menciptakan suasana yang bersahaja dan mampu membuat pembaca hanyut ke dalam puisi ini. Penggambaran waktu subuh yang damai dengan menggunakan kata langit yang semalaman yang tak memejamkan mata yang meluas bening….. Begitu juga dengan penggambaran waktu siang hari: matahari yang mengambang tenang di atas kepala….
Pilihan kata yang digunakan oleh Sapardi adalah kata-kata yang sudah kita kenal. Sangat sederhana memang dalam pilihan kata yang dipakai tapi dengan diksi yang sederhana mampu menciptakan suasana yang bersahaja dan mampu membuat pembaca hanyut ke dalam puisi ini. Penggambaran waktu subuh yang damai dengan menggunakan kata langit yang semalaman yang tak memejamkan mata yang meluas bening….. Begitu juga dengan penggambaran waktu siang hari: matahari yang mengambang tenang di atas kepala….
Gaya
bahasa Sapardi banyak repetisi sehingga tampak memperjelas maksud yang ingin
disampaikannya. Dalam satu bait banyak terulang kata-kata yang sama namun
dengan hal tersebut mampu menggambarkan suatu keadaan kepada pembaca.
Magrib
ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil
itu menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi
dan bulu-bulu mataku
pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil
itu menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi
dan bulu-bulu mataku
Bentuk tipografi puisi yang dipakai
oleh Sapardi pun turut menyumbang dukungan terhadap kesatuan puisi ini. Setiap
penggambaran waktu yang berbeda, ditulis dalam bait baru sedangkan baris di
bawahnya ditulis menjorok (menggantung) ke dalam seolah-olah memberi penekanan
pada awal bait di baris pertama begitu istimewa.
Pengimajian juga begitu kuat dalam
puisi ini. Pembaca seakan-akan merasakan apa yang dirasakan oleh si aku dalam
doanya. Citraan perasaanlah yang mendominasi dalam puisi ini dan hampir tiap
bait terdapat citraan ini. Citraan perabaan terdapat pada bait keempat:
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi dan bulu-bulu mataku.
Citraan penglihatan tampak pada bait pertama, kedua, dan ketiga.Semua
unsur-unsur intrinsik itu telah berhasil menghasilkan sebuah puisi yang
bersahaja dalam pilihan katanya dan maknanya.
KESIMPULAN
Dari hasil apresiasi puisi di atas,
yaitu, puisi “Dalam Doaku” karya Sapardi Djoko Damono terdapat penggunaan
unsur-unsur intrinsiknya tidak dipakai lengkap. Penyair tidak terlalu
mementingkan kelengkapan unsur-unsur intrinsik karena puisi mereka tergolong
puisi naratif yang hendak menceritakan sesuatu kepada pembaca. Jadi, tidak ada
sesuatu yang disembunyikan oleh penyair, penyair tidak bersembunyi di balik
kata-kata yang untuk memahaminya pembaca perlu memparafrase terlebih dahulu.
Puisi karya Sapardi yaitu tentang
ketuhanan.
Sapardi menggunakan gaya bahasa
repetisi dalam menyampaikan gagasannya dalam puisinya.. Bunyi-bunyi ditata
sedemikian rupa oleh Sapardi sehingga suasana yang tecipta benar-benar membuat
pembaca hanyut di dalamnya.
Tipografi yang digunakan oleh
penyair ini tidak mengikuti bentuk lazimnya puisi. bentuk puisi Sapardi
menggantung dan sangat panjang sekali. Namun, pembaca tidak bosan untuk
menghabiskan puisi tersebut karena pilihan kata yang dipakai begitu sederhana
dan tidak membuat pusing pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar
Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Fananie, Zainuddin.
2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Saraswati,
Eka.2002.Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal.Malang: Bayu Media